Apakah Konten TikTok, Facebook, dan Media Sosial Tunduk pada UU Pers atau UU ITE?

Ilustrasi bermain media sosial.-pixabay/Averyanovphoto-
1. Menguji informasi (check and recheck)
2. Berimbang (memberikan ruang kepada semua pihak)
3. Tidak mencampur fakta dan opini yang menghakimi
4. Segera meralat kesalahan
5. Memberi ruang hak jawab dan hak koreksi
Pertanyaannya, apakah konten di media sosial sudah melalui semua proses ini?
Jika tidak, maka tidak bisa disebut sebagai karya jurnalistik. Artinya, jika ada yang merasa dirugikan, proses hukum yang digunakan bukan melalui mekanisme Dewan Pers, melainkan berdasarkan UU ITE atau hukum pidana lainnya.
Penting juga dicatat bahwa menurut Gaudensius Suhardi (Direktur Pemberitaan Media Indonesia), media sosial bukanlah bagian dari pers, dan produk yang dihasilkan di dalamnya bukan karya jurnalistik, meskipun akun tersebut dimiliki oleh institusi media sekalipun.
Dasar Hukum
Hal ini dikuatkan pula oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 39/PUU-XVIII/2020 yang menegaskan bahwa konten media sosial tunduk pada UU ITE, bukan pada UU Pers, kecuali bisa dibuktikan bahwa konten tersebut adalah produk jurnalistik sesuai standar yang berlaku.
Dalam konteks penegakan hukum, keterangan ahli pers bisa menjadi alat bukti penting untuk membedakan mana yang termasuk karya jurnalistik dan mana yang tidak.
Penutup: Jaga Marwah Profesi Pers
Tulisan ini saya buat sebagai bentuk kecintaan saya kepada dunia pers. Dunia ini pernah menjadi bagian penting dalam perjalanan hidup saya, dan saya yakin bahwa pers yang merdeka adalah pilar penting dalam demokrasi.
Untuk itu, saya mengajak semua pihak—terutama yang berprofesi sebagai wartawan—untuk menjaga marwah dan integritas profesi.
Jangan biarkan media sosial mencampuradukkan antara kebebasan berekspresi dengan tanggung jawab jurnalistik.
Sumber: