ACEH.DISWAY.ID - Peristiwa pada tanggal 14 April 2025 di Universitas Abulyatama meninggalkan cerita yang kurang mengenakkan bagi Civitas Akademika Universitas Abulyatama. Adanya gerombolan orang yang tidak dikenal masuk dan menguasai kampus Universitas Abulyatama pada dini hari serta melarang orang-orang untuk memasuki area kampus, menyebabkan penolakan dari Civitas Akademika Universitas Abulyatama serta masyarakat sekitar.
Hal tersebut sempat memicu gesekan antara gerombolan orang tak dikenal dengan Civitas Akademika dan masyarakat setempat.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, atas kejadian tersebut telah terjadi beberapa pelaporan, antara lain: perusakan, pengeroyokan, hingga pencemaran nama baik. Konflik antar massa ini merembet hingga ke pelaporan resmi ke pihak kepolisian terkait dugaan pencemaran nama baik.
Diketahui bahwa pelapor adalah RM, yang di belakangnya terdapat MB, paman dari para terlapor yaitu dr. Muhammad Rizki, Maidayani, dan Ir. Agung Efriyo.
BACA JUGA:
- Dewan Dukung Kinerja Gemilang Gubernur Mirza dan Wagub Jihan
- WKU KADIN Lampung Romy J Utama Dampingi Gubernur Mirza dalam Pembahasan Kerjasama Antar 5 Provinsi di Batam
Permasalahan ini berawal dari konflik keluarga yang selama ini telah diupayakan penyelesaiannya melalui mediasi oleh berbagai pihak, seperti instansi kementerian, kepolisian, dan pihak-pihak lainnya. Namun sangat disayangkan, tindakan yang diambil oleh RM dan MB, serta kuasa hukumnya, justru memutuskan untuk melaporkan keponakan mereka sendiri ke pihak kepolisian.
Kuasa hukum sebagai advokat seharusnya mengupayakan penyelesaian terbaik bagi klien, bukan justru menggunakan jalur pidana, yang seharusnya menjadi "obat terakhir" atau ultimum remedium—yaitu sanksi pidana sebagai upaya terakhir setelah semua upaya penyelesaian hukum lainnya telah ditempuh, termasuk penyelesaian secara kekeluargaan.
Sebagaimana kultur masyarakat Aceh yang selalu mengutamakan musyawarah, mufakat, dan prinsip kekeluargaan dalam menyelesaikan masalah—bukan mencari siapa yang salah atau benar—nilai-nilai tersebut tampak mulai luntur dalam permasalahan ini.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.
BACA JUGA:
- Pemerintah Provinsi Lampung Resmi Meluncurkan Lampung-In
- Universitas Malahayati dan KADIN Lampung Dorong Transformasi Digital Menuju Indonesia Emas 2045
Selain itu, terdapat falsafah narit maja dalam budaya Aceh yang menekankan pentingnya menjaga dan memelihara perdamaian serta mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat. Hidup rukun bagi masyarakat Aceh dianalogikan seperti hidup dari satu ayah dan satu ibu.
Rasa persaudaraan inilah yang selama ini tercermin dalam masyarakat Aceh, sehingga penyelesaian sengketa yang terjadi di tengah-tengah mereka selalu diupayakan melalui hukum adat yang berlaku.
Masyarakat Aceh berpandangan bahwa membawa permasalahan hukum ke meja hijau atau pengadilan formal (ba bak meja) adalah tindakan yang dianggap memalukan. Mereka lebih memilih menyelesaikan masalah melalui adat gampong dengan prinsip kekeluargaan (sabee keudro-dro).
Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk mengingat dari mana asal-muasal adat dan budaya kita, agar tetap menjunjung tinggi kultur penyelesaian damai, bukan kultur yang meninggalkan "abu dan arang."
Kuasa Hukum Keluarga Rosnati Syech
Chaerul Tri Rizki Sembiring, S.H.